Thursday, November 22, 2012

Makalah Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila di Lingkungan Kampus


MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA
AKTUALISASI NILAI – NILAI PANCASILA
DI LINGKUNGAN KAMPUS

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pancasila merupakan dasar Negara Indonesia yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Hal ini tertuang dalam alinea keempat Undang – Undang Dasar tahun 1945. Nilai- nilai dari Pancasila berasal dari akar budaya bangsa Indonesia yang luhur. Sebagai suatu dasar Negara maka Pancasila senantiasa dijadikan landasan dalam pengaturan kehidupan bernegara, yang berarti bahwa segala macam peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang diambil oleh para penyelenggara Negara tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.
Hal ini menegaskan bahwa Pancasila merupakan suatu acuan yang dijadikan dasar dalam bertindak oleh segenap bangsa Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia, maka kita diwajibkan untuk mengaktualisasi berbagai nilai –nilai yang terkandung dalam Pancasila dalam berbagai bidang kehidupan.
Maka, setelah banyak aspek memperbincangkan Pancasila sebagai dasar Negara. Sekarang Pancasilapun dijadikan bahan perbincangan sebagai perilaku yang digunakan didalam kampus. Dimana didalam kampus tersebut akan terdidik dengan kepemimpinan Pancasila. Baik dalam perilaku bergaul juga dalam proses belajar mengajar didalamnya. Serta molekul-molekul yang menjadi bagiannya.
Walaupun pada kenyataannya aktualisasi pancasila dalam lingkungan kampus tidak selalu sesuai seperti yang kita harapkan. Salah satu contohnya yakni perbuatan mencontek yang banyak dilakukaan oleh mahasiswa. Namun kita tetap harus mengaktualisasi nilai- nilai Pancasila sebaik mungkin yang dapat kita lakukan.
Makalah ini dibuat agar kita senantiasa mencintai, menghayati, dan mengaktualisasi nilai – nilai Pancasila dalam kehidupan kita sehari-hari, terutama di lingkungan kampus. Sehingga kelak saat kita terjun ke masyarakat kita akan menjadi manusia Pancasila, yakni manusia yang selalu berpedoman teguh pada Pancasila.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka makalah ini secara khusus membahas permasalahan sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan aktualisasi?
2.      Apa yang dimaksud dengan tri darma perguruan tinggi?
3.      Bagaimana cara mengaktualisasi Pancasila di perguruan tinggi?

C.    Landasan Teori
Dalam penyusunan makalah ini, kami mendapatkan bahan makalah yang berasal dari 2 sumber. Sumber tersebut yaitu : buku yang berjudul “Pendidikan Pancasila” karya A.T Soegito,dkk dan dari internet.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Aktualisasi Pancasila
Aktualisasi berasal dari kata aktual yang berarti betul-betul ada, terjadi dan sesungguhnya, hakikatnya. Dimana Pancasila memang sudah jelas berdiri dalam bangsa Indonesia sebagai dasar negaranya.
Aktualisasi Pancasila adalah bagaimana nilai-nilai Pancasila benar-benar dapat tercermin dalam sikap dan perilaku seluruh warga negara mulai dari aparatur Negara sampai kepada rakyat biasa.
Nilai-nilai Pancasila yang bersumber pada hakikat Pancasila adalah bersifat universal, tetap dan tak berubah. Nilai-nilai tersebut dapat dijabarkan dalam setiap aspek dalam penyelenggaraan Negara dan dalam wujud norma-norma, baik norma hukum, kenegaraan, maupun norma-norma moral yang harus dilaksanakan dan diamalkan oleh setiap warga Negara Indonesia.
Aktualisasi Pancasila dapat dibedakan atas dua macam yaitu :
1. Aktualisasi Objektif
Aktualisasi Pancasila secara objektif yaitu melaksanakan pancasila dalam berbagai bidang kehidupan kenegaraan yang meliputi kelembagaan Negara antara lain: legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Selain itu juga meliputi bidang-bidang aktualisasi lainnya. Seperti politik, ekonomi, hukum terutama dalam penjabaran kedalam undang-undang, garis-garis besar haluan Negara, hankam, pendidikan maupun bidang kenegaraan lainnya.
2. Aktualisasi Subjektif 
Aktualisasi Pancasila secara subyektif adalah aktualisasi pancasila pada setiap individu terutama dalam aspek moral dalam kaitannya dengan hidup Negara dan masyarakat. Aktualisasi yang subjektif tersebut tidak terkecuali baik warga Negara biasa, aparat pentelenggara Negara, penguasa Negara, terutama kalangan elit politik dalam kegiatan politik, maka dia perlu mawas diri agar memiliki moral ketuhanan dan kemanusiaan sebagaimana terkandung dalam pancasila.
Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara memerlukan kondisi dan iklim yang memungkinkan segenap lapisan masyarakat yang dapat mencerminkan nilai-nilai Pancasila itu dan dapat terlihat dalam perilaku. Perpaduan ciri tersebut di dalam kehidupan kampus melahirkan gaya hidup tersendiri yang merupakan variasi dari corak kehidupan yang menjadikan kampus sebagai pedoman dan harapan masyarakat.

B.     Tri Dharma Perguruan Tinggi
Pendidikan tinggi sebagai institusi dalam masyarakat bukanlah menara gading yang jauh dari kepentingan masyarakat melainkan senantiasa mengemban dan mengabdi kepada masyarakat. Perguruan tinggi diselenggarakan dengan tujuan untuk :
1.      Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau professional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian.
2.      Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, perguruan tinggi menyelenggarakan kegiatan yang disebut dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang terdiri dari :
1.      Pendidikan
Merupakan kegiatan dalam upaya menghasilkan manusia terdidik yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan IPTEK dan seni.
2.      Penelitian
Kegiatan dalam upaya menghasilkan pengetahuan empirik, teori, konsep, model, atau informasi baru guna memperkaya IPTEK dan seni.
3.      Pengabdian Kepada Masyarakat
Kegiatan yang memanfaatkan IPTEK dalam upaya memberi sumbangan demi kemajuan masyarakat.

C.    Penumbuhan Moral Etika Pancasila
Akhir-akhir ini di berbagai tempat timbul kerusuhan massa yang cenderung brutal dikarenakan adanya kesenjangan sosial antara pemerintah pusat maupun daerah. Hal ini menimbulkan gejolak berupa gerakan pengacau keamanan bahkan tuntutan untuk melepaskan diri misalnya Aceh dan Irian Barat. Apabila tidak segera diatasi maka akan menyebabkan disintregrasi bangsa. Disini pula dikarenakan hubungan social lainnya, kebebasan berkumpul sangat dibatasi, kesadaran pemeliharaan lingkungan yang kurang, kurangnya kerjasama antar agama, kurangnya penyadaran social, serta sentiment yang selalu ditutup-tutupi dengan isi SARA. Yang justru menyebabkan meledaknya kerusuhan di beberapa tempat.
Padahal para pendiri bangsa telah mencontohkan pada kita bagaimana cara mencipatakan situasi demokrasi melalui BPUPKI – PPKI dengan melakukan perdebatan dan pemufakatan disaat-saat mempersiapkan kemerdekaan. Bahkan saat proklamasi hingga pengesahan UUD 1945 mereka tetap bersatu hingga Negara Republik Indonesia dapat diwujudkan.
Persoalan demokrasi bukan hanya masalah yang menyangkut pengaturan kekuasaan Negara, melainkan juga terkait cara hidup antar kelompok masyarakat yang sangat pluralis dimana persoalan-persoalan sosial dapat dipecahkan secara bersama. Maka muncullah pemikiran kearah desentralisasi pemerintahan yang kurang lebih sejalan dengan perkembangan masyarakat modern dan demokratis. Namun terjadinya kerusuhan dibeberapa tempat, kekejaman bahkan pembunuhan antar masyarakat etnis bertentangan dengan jiwa dan semangat Pancasila. Sebab bagi bangsa Indonesia keanekaragaman etnis, agama, adat istiadat, wilayah yang begitu luas yang konsekuensi logisnya, pluralisme, visi dan aspirasi yang beraneka ragam harus diterima dan dihormati. Yang menjadi perhatian kita adalah mengatasi pluralisme dai kerawanan  menjadi asset nasional. Cara mengatasinya yakni dengan “Etika Pluralisme”, yakni etika yang mengajarkan sopan santun dalam sikap dan mau menerima beda pendapat dalam musyawarah dan mufakat sebagai penjelmaan demokrasi Pancasila. Dengan demikian persatuan dan kesatuan bangsa dapat diciptakan dan menghindari disintregrasi bangsa. Sarana yang sangat strategis yakni dengan pendidikan Pancasila. Untuk itulah maka revitalisasi nilai-nilai Pancasila serta moral etika Pancasila harus terus-menerus dikembangkan.

D.    Tradisi Kebebasan Akademik, Kebebasan Mimbar Akademik,  Otonomi Akademik dan Peran Mahasiswa di Masyarakat

1.      Tradisi Kebebasan Akademik
         Sejak universitas pertama kali berdiri di Bologna (Italia), paham kebebasan yang selama itu dipegang oleh gereja mulai digulirkan pada Universitas. Semua pimpinan agama memegang kekuasaan, mengambil keputusan tentang kebenaran-kebebasan bagi masyarakat melalui mimbar (excathedra). Pada masa itu kebenaran dan keadilan masih dikendalikan oleh kesejajaran (juxtaposition) antara simpulan yang ditarik dari tafsir agama dan yang merupakan hasil proses penalaran oleh para pemikir (ilmuwan dan filosof) semakin diperlukan adanya batasan yang jelas. Tidak jarang simpulan tersebut menghasilkan pertentangan pandangan (contra position ).
         Dari apa yang telah dicapai oleh para pemikir (ilmuwan dan filosof) pada abad pertengahan dapat diamati suatu gejala empirik tentang kebebasan untuk mencapai kebenaran :
a.       Bahwa masyarakat ilmiah perlu dikembangkan dalam lingkungan perguruan tinggi.
b.      Sikap avveroisme (kelompok ilmiah nasionalis yang berusaha melepaskan diri dari gereja ) semakin jelas dikalangan perguruan tinggi, mereka semakin otonom dalam mencapai kebenaran.
c.       Otonomi perguruan tinggi berhubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kondisi itu bersifat conditio sinequanon bagi kemajuan peradaban imu. Dalam hal ini segala pengertian tentang kebebasan kampus dan kebebasan akademis adalah pengertian yang setara bagi kemajuan.
         Kebebasan akademik dalam hal ini lebih berciri aktivitas wahana pengembangan ilmu pengetahuan yang dapat diikuti oleh sivitas akademika (dosen dan mahasiswa). Dalam hal ini sivitas akademika akan menempuh jalur norma akademik, yang mencangkup serangkaian langkah metodologis: penemuan masalah, tujuan, manfaat, cara mencapai kebenaran, analisis, dan simpulan.

2.      Kebebasan Mimbar Akademik
         Dalam perkembangan dan penyelenggaraan otonomi kampus bagi perkembangan ilmu pengetahuan muncul istilah kebebasan  mimbar akademik, yaitu proses pengembangan ilmu lewat kegiatan perkuliahan (mimbar akademik). Kebebasan mimbar akademik lebih ditekankan pada pengembangan kognitif (pemahaman), apresiasi (afektif), dan keterampilan (psikomotorik)yang dilakukan dalam laboratorium dan perpustakaan. Media untuk pengembangan mimbar akdemik lebih ditekankan pada diskusi, seminar, dan simposium. Dalam kegiatan ini dosen dan mahasiswa akan berada dalam suatu pola interese, yaitu berada pada satu tatanan bahasa yang bersifat setara (VIS a VIS) namun dosen tetap pada posisi pemegang mimbar (ex cathedra). Posisi pemegang mimbar utama adalah guru besar (professor). Ia memiliki otoritas sebagai pengembang ilmu karena telah bergelar doctor.
         Suria Sumantri (1986 : 27) menyebut mahasiswa sebagai setengah ilmuwan, yaitu mahasiswa belum memiliki kewibawaan penuh pemegang otoritas dalam kegiatan ilmu. Fungsi mahasiswa menjadi cukup srtategis dalam kegiatan keilmuan yang mengarah pada perkembangan peradaban manusia dan teknologi. Pertama, pada proses pengembangan ilmu mahasiswa, mahasiswa merupakan pelaku muda (colega minor)yang sedang belajar dan mengalami bimbingan dari dosen (colega mayor). Mahasiswa akan mengalami pendewasaan diri sebagai ilmuwan. Kedua, pada proses pengembangan ilmu, mahasiswa merupakan pelaku muda yang pada umumnya sedang mengalami bimbingan dari para dosen. Dalam hal ini mahasiswa sering kali memerlukan media tukar pendapat, dialog kritis untuk saling memberi masukan.

3.      Otonomi Keilmuan
         Ilmu yang berkembang tidak hanya kerangaka pemikiran logis, melainkan telah teruji, sehingga dengan ilmu orang akan bias menjelaskan gejala alam kemudian meramalkannya. Ilmu mempunyai obyek kajian (ontologis), dan memiliki kemampuan untuk mencapai kebenaran (epistemologi) serta kemampuan terkait dengan masyarakatnya (aksiologis). Ilmu yang dapat berkembang pad prinsipnya karena kaidah moral, pertimbangan etis, dan norma kerja profesinya.
         Ilmu pengetahuan memang dapat memperoleh otonomi dalam melakukan kegiatannya untuk mempelajari alam semesta, tetapi masalah moral akan timbul manakala berkaitan dengan ilmu pengetahuan itu. Ilmu pengetahuan memiliki 2 sisi kajian yaitu sisi kajian internal dan eksternal. Sisi kajian internal digunakan manakala ilmu hanya menggunakan metode spesifik yang dimilikiuntuk dipraktekkan ilmuwan secara otonomi (Salim, 1994: 15). Sedang pada sisi kajian eksternal , ilmu akan berkaitan dengan bidang IPOLEKSOSBUDROHANKAM (ideology, politik, ekonomi, social, budaya, rohani, pertahanan, dan keamanan.
         Ilmu pengetahuan hanya memiliki otonomi dalam sisi kajian internal (terbatas pada penerapan metodologinya untuk mencapai kebenaran ilmiah). Ilmu pengetahuan selalu dituntut bagaimana dapat memiliki kegunaan di masyarakatnya. Misalnya keberadaan ilmu kedokteran harus mampu mengatasi masalah kesehatan masyarakat secara luas, seperti menciptakan obat untuk mengatasi HIV,dll. Ilmu sosial (politik,sosial,ekonomi, budaya, dll) harus mampu menciptakan dinamika dan intregitas bagi masyarakatnya. Dapat dikatakan bahwa ilmu sosial tidak mungkin berkembang terlepas dari masyarakatnya, karena ilmu sosial adalah bagian dari gejala perilaku masyarakat.

4.      Peran Mahasiswa di Masyarakat
Keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan masyarakat dapat dilakukan sejauh kegiatan itu memiliki relevansi langsung dengan kematangan ilmu pengetahuan yang diminati. Keterlibatan mahasiswa terhadap masalah sosial sebatas mahasiswa memiliki komitmen yang kuat terhadap pengembangan tugas akademis. Sebagai contoh keterlibatan mahasiswa dalam masalah politik, harus bersifat peningkat visi akademisnya, pengembangan wawasan, pengayaan substansi dan kedewasaannya.
Peran mahasiswa di masyarakat­:
1.      Mahasiswa sebagai pribadi yang sedang belajar berproses “untuk menjadi” (ilmuwan) sehingga masih membutuhkan bimbingan dan pembinaan akdemik yang intensif dari para dosen.
2.      Mahasiswa dapat berperan sebagai perantara pembaharuan (agent of modernization) terutama membantu masyarakat miskin yang masih tertinggal guna meningkatkan pendapatannya.
3.      Mahasiswa perlu belajar untuk dapat mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian, laporan hasil kajian ilmiah, dan hasil diskusi ilmu pengetahuan kepada masyarakat dalam tataran bahasa indonesia yang sederhana sehingga dapat diterima semua pihak.
4.      Tidak semua orang dalam masyarakat dapat meraih peluang masuk kuliah di bangku perguruan tinggi. Peluang masuk perguruan tinggi hanyalah bagi lulusan SMA yang memiliki motivasi dan dukungan dana yang cukup. Pengadaan dana yang cukup besar itu membutuhkan bantuan masyarakat yang secara langsung digunakan untuk pengadaan prasarana dan sarana belajar.

E.     Memposisikan Kebebasan Akademik dan Kebebasan Mimbar Akademik Secara Proporsional
   Kesenjangan antara teori keagamaan dan penalaran ilmiah makin membesar karena para filsuf yang tergabung dalam kelompok penganut  averroisme terus bertahan pada pendiriannya untuk menggarap masalah-masalah filsafat dan ilmu bebas dari ikatannya dengan keagamaan. Averroisme terus berkembang dan memunculkan berbagai aliran filsafat serta cabang ilmu secara mandiri. Pesatnya pertumbuhan sebagai cabang ilmu makin menampilkan ilmu sebagai suatu manifestasi yang otonom dan hal ini menimbulkan tuntutan agar bagi pusat-pusat keilmuan- universitas diakui juga otonomi universitas sebagai lembaga yang menyelenggarakan kegiatan ilmiah. Maka muncullah istilah otonomi universitas, yaitu otonomi kelembagaannya sebagai pengelola akademik ; dalam suasana itu universitas merupakan tempat persemaian intelektual dan cultural dalam arti luas, bukan sekedar perakit sarjana.
Otonomi ilmu selanjutnya juga dianggap sebagai condition sine qua non bagi terwujudnya perkembangan dan kemajuan ilmu khususnya serta peradaban pada umumnya sering juga diakui sebagai otonomi universitas sebagai lembaga yang menyelenggarakan pengajaran dan penelitian berbagai disiplin ilmu sesuai kaidah-kaidah akademik.
Sejalan dengan hasrat diakuinya otonomi ilmu maka kalangan ilmuwan khususnya kalangan akademis mengharapkan diakui dan berlakunya kebebasan akademik serta kebebasan mimbar akademik. Yang pertama, berkenaan dengan kebebasan para akademis untuk melakukan studi, penelitian, pembahasan serta pengajaran ilmu kepada dan antara sivitas akademika. Yang kedua, berkenaan dengan hak serta tanggung jawab seorang yang memiliki prasyarat dan atribut untuk diakui wewenang dan wibawa keilmuannya guna mengutaran fikiran dan pendapatnya ex catedra academica. Hak menggunakan cathedra (mimbar ) tidak dimiliki setiap sivitas akademika, melainkan oleh para akademisi yang memenuhi segala persyaratan untuk bertindak selaku tenaga pengajar atau peneliti yang mandiri.
Di Indonesia tradisi kebebasan (mimbar) akdemik mula-mula diberlakukan di perguruan-perguruan tinggi yang pertama-tama didirikan yaitu Sekolah Tinggi Teknik