MAKALAH
PENDIDIKAN PANCASILA
AKTUALISASI
NILAI – NILAI PANCASILA
DI
LINGKUNGAN KAMPUS
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pancasila merupakan dasar Negara
Indonesia yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Hal ini tertuang dalam
alinea keempat Undang – Undang Dasar tahun 1945. Nilai- nilai dari Pancasila
berasal dari akar budaya bangsa Indonesia yang luhur. Sebagai suatu dasar
Negara maka Pancasila senantiasa dijadikan landasan dalam pengaturan kehidupan
bernegara, yang berarti bahwa segala macam peraturan perundang-undangan dan
kebijakan yang diambil oleh para penyelenggara Negara tidak boleh bertentangan
dengan Pancasila.
Hal ini menegaskan bahwa Pancasila
merupakan suatu acuan yang dijadikan dasar dalam bertindak oleh segenap bangsa
Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia, maka kita diwajibkan untuk
mengaktualisasi berbagai nilai –nilai yang terkandung dalam Pancasila dalam
berbagai bidang kehidupan.
Maka,
setelah banyak aspek memperbincangkan Pancasila sebagai dasar Negara. Sekarang
Pancasilapun dijadikan bahan perbincangan sebagai perilaku yang digunakan
didalam kampus. Dimana didalam kampus tersebut akan terdidik dengan
kepemimpinan Pancasila. Baik dalam perilaku bergaul juga dalam proses belajar
mengajar didalamnya. Serta molekul-molekul yang menjadi bagiannya.
Walaupun
pada kenyataannya aktualisasi pancasila dalam lingkungan kampus tidak selalu
sesuai seperti yang kita harapkan. Salah satu contohnya yakni perbuatan
mencontek yang banyak dilakukaan oleh mahasiswa. Namun kita tetap harus
mengaktualisasi nilai- nilai Pancasila sebaik mungkin yang dapat kita lakukan.
Makalah ini
dibuat agar kita senantiasa mencintai, menghayati, dan mengaktualisasi nilai –
nilai Pancasila dalam kehidupan kita sehari-hari, terutama di lingkungan
kampus. Sehingga kelak saat kita terjun ke masyarakat kita akan menjadi manusia
Pancasila, yakni manusia yang selalu berpedoman teguh pada Pancasila.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian diatas maka makalah ini secara khusus membahas permasalahan sebagai
berikut :
1.
Apa yang dimaksud dengan aktualisasi?
2.
Apa yang dimaksud dengan tri darma
perguruan tinggi?
3.
Bagaimana cara mengaktualisasi
Pancasila di perguruan tinggi?
C.
Landasan
Teori
Dalam penyusunan makalah ini, kami mendapatkan bahan makalah yang
berasal dari 2 sumber. Sumber tersebut yaitu : buku yang berjudul “Pendidikan
Pancasila” karya A.T Soegito,dkk dan dari internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aktualisasi Pancasila
Aktualisasi
berasal dari kata aktual yang berarti betul-betul ada, terjadi dan sesungguhnya,
hakikatnya. Dimana Pancasila memang sudah jelas berdiri dalam bangsa Indonesia
sebagai dasar negaranya.
Aktualisasi Pancasila adalah bagaimana nilai-nilai Pancasila benar-benar
dapat tercermin dalam sikap dan perilaku seluruh warga negara mulai dari
aparatur Negara sampai kepada rakyat biasa.
Nilai-nilai Pancasila yang bersumber pada hakikat Pancasila adalah
bersifat universal, tetap dan tak berubah. Nilai-nilai tersebut dapat
dijabarkan dalam setiap aspek dalam penyelenggaraan Negara dan dalam wujud
norma-norma, baik norma hukum, kenegaraan, maupun norma-norma
moral yang harus dilaksanakan dan diamalkan oleh setiap warga Negara Indonesia.
Aktualisasi Pancasila dapat dibedakan atas dua macam yaitu :
1. Aktualisasi Objektif
Aktualisasi Pancasila secara objektif yaitu melaksanakan pancasila dalam berbagai bidang kehidupan kenegaraan
yang meliputi kelembagaan Negara antara lain: legislatif, eksekutif, maupun
yudikatif. Selain itu juga meliputi bidang-bidang aktualisasi lainnya. Seperti
politik, ekonomi, hukum terutama dalam penjabaran kedalam undang-undang,
garis-garis besar haluan Negara, hankam, pendidikan maupun bidang kenegaraan
lainnya.
2. Aktualisasi Subjektif
Aktualisasi Pancasila secara subyektif
adalah aktualisasi pancasila pada setiap
individu terutama dalam aspek moral dalam kaitannya dengan hidup Negara dan
masyarakat. Aktualisasi yang subjektif tersebut tidak terkecuali baik warga
Negara biasa, aparat pentelenggara Negara, penguasa Negara, terutama kalangan
elit politik dalam kegiatan politik, maka dia perlu mawas diri agar memiliki
moral ketuhanan dan kemanusiaan sebagaimana terkandung dalam pancasila.
Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara memerlukan kondisi dan iklim yang memungkinkan segenap lapisan
masyarakat yang dapat mencerminkan nilai-nilai Pancasila itu dan dapat
terlihat dalam perilaku.
Perpaduan ciri tersebut di dalam
kehidupan kampus melahirkan gaya hidup tersendiri yang merupakan variasi
dari corak kehidupan yang menjadikan kampus sebagai pedoman dan harapan masyarakat.
B. Tri Dharma Perguruan Tinggi
Pendidikan tinggi sebagai institusi
dalam masyarakat bukanlah menara gading yang jauh dari kepentingan masyarakat
melainkan senantiasa mengemban dan mengabdi kepada masyarakat. Perguruan tinggi
diselenggarakan dengan tujuan untuk :
1. Menyiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau professional yang
dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan,
teknologi dan/atau kesenian.
2. Mengembangkan dan menyebarluaskan
ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya
untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan
nasional.
Dalam rangka mencapai tujuan
tersebut, perguruan tinggi menyelenggarakan kegiatan yang disebut dengan Tri
Dharma Perguruan Tinggi, yang terdiri dari :
1. Pendidikan
Merupakan
kegiatan dalam upaya menghasilkan manusia terdidik yang memiliki kemampuan
akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau
menciptakan IPTEK dan seni.
2. Penelitian
Kegiatan
dalam upaya menghasilkan pengetahuan empirik, teori, konsep, model, atau
informasi baru guna memperkaya IPTEK dan seni.
3. Pengabdian Kepada Masyarakat
Kegiatan
yang memanfaatkan IPTEK dalam upaya memberi sumbangan demi kemajuan masyarakat.
C. Penumbuhan
Moral Etika Pancasila
Akhir-akhir ini di berbagai tempat
timbul kerusuhan massa yang cenderung brutal dikarenakan adanya kesenjangan sosial
antara pemerintah pusat maupun daerah. Hal ini menimbulkan gejolak berupa
gerakan pengacau keamanan bahkan tuntutan untuk melepaskan diri misalnya Aceh
dan Irian Barat. Apabila tidak segera diatasi maka akan menyebabkan
disintregrasi bangsa. Disini pula dikarenakan hubungan social lainnya, kebebasan
berkumpul sangat dibatasi, kesadaran pemeliharaan lingkungan yang kurang,
kurangnya kerjasama antar agama, kurangnya penyadaran social, serta sentiment
yang selalu ditutup-tutupi dengan isi SARA. Yang justru menyebabkan meledaknya
kerusuhan di beberapa tempat.
Padahal para pendiri bangsa telah
mencontohkan pada kita bagaimana cara mencipatakan situasi demokrasi melalui
BPUPKI – PPKI dengan melakukan perdebatan dan pemufakatan disaat-saat
mempersiapkan kemerdekaan. Bahkan saat proklamasi hingga pengesahan UUD 1945
mereka tetap bersatu hingga Negara Republik Indonesia dapat diwujudkan.
Persoalan demokrasi bukan hanya
masalah yang menyangkut pengaturan kekuasaan Negara, melainkan juga terkait
cara hidup antar kelompok masyarakat yang sangat pluralis dimana
persoalan-persoalan sosial dapat dipecahkan secara bersama. Maka muncullah
pemikiran kearah desentralisasi pemerintahan yang kurang lebih sejalan dengan
perkembangan masyarakat modern dan demokratis. Namun terjadinya kerusuhan
dibeberapa tempat, kekejaman bahkan pembunuhan antar masyarakat etnis
bertentangan dengan jiwa dan semangat Pancasila. Sebab bagi bangsa Indonesia
keanekaragaman etnis, agama, adat istiadat, wilayah yang begitu luas yang
konsekuensi logisnya, pluralisme, visi dan aspirasi yang beraneka ragam harus
diterima dan dihormati. Yang menjadi perhatian kita adalah mengatasi pluralisme
dai kerawanan menjadi asset nasional. Cara
mengatasinya yakni dengan “Etika Pluralisme”, yakni etika yang mengajarkan
sopan santun dalam sikap dan mau menerima beda pendapat dalam musyawarah dan
mufakat sebagai penjelmaan demokrasi Pancasila. Dengan demikian persatuan dan
kesatuan bangsa dapat diciptakan dan menghindari disintregrasi bangsa. Sarana
yang sangat strategis yakni dengan pendidikan Pancasila. Untuk itulah maka
revitalisasi nilai-nilai Pancasila serta moral etika Pancasila harus
terus-menerus dikembangkan.
D. Tradisi
Kebebasan Akademik, Kebebasan Mimbar Akademik,
Otonomi Akademik dan Peran Mahasiswa di Masyarakat
1.
Tradisi Kebebasan Akademik
Sejak
universitas pertama kali berdiri di Bologna (Italia), paham kebebasan yang
selama itu dipegang oleh gereja mulai digulirkan pada Universitas. Semua
pimpinan agama memegang kekuasaan, mengambil keputusan tentang kebenaran-kebebasan
bagi masyarakat melalui mimbar (excathedra). Pada masa itu kebenaran dan
keadilan masih dikendalikan oleh kesejajaran (juxtaposition) antara simpulan
yang ditarik dari tafsir agama dan yang merupakan hasil proses penalaran oleh
para pemikir (ilmuwan dan filosof) semakin diperlukan adanya batasan yang
jelas. Tidak jarang simpulan tersebut menghasilkan pertentangan pandangan
(contra position ).
Dari
apa yang telah dicapai oleh para pemikir (ilmuwan dan filosof) pada abad
pertengahan dapat diamati suatu gejala empirik tentang kebebasan untuk mencapai
kebenaran :
a. Bahwa masyarakat ilmiah perlu
dikembangkan dalam lingkungan perguruan tinggi.
b. Sikap avveroisme (kelompok ilmiah nasionalis yang berusaha melepaskan
diri dari gereja ) semakin jelas dikalangan perguruan tinggi, mereka semakin otonom
dalam mencapai kebenaran.
c.
Otonomi
perguruan tinggi berhubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kondisi itu
bersifat conditio sinequanon bagi
kemajuan peradaban imu. Dalam hal ini segala pengertian tentang kebebasan
kampus dan kebebasan akademis adalah pengertian yang setara bagi kemajuan.
Kebebasan
akademik dalam hal ini lebih berciri aktivitas wahana pengembangan ilmu
pengetahuan yang dapat diikuti oleh sivitas akademika (dosen dan mahasiswa).
Dalam hal ini sivitas akademika akan menempuh jalur norma akademik, yang
mencangkup serangkaian langkah metodologis: penemuan masalah, tujuan, manfaat,
cara mencapai kebenaran, analisis, dan simpulan.
2.
Kebebasan Mimbar Akademik
Dalam perkembangan dan penyelenggaraan otonomi kampus bagi
perkembangan ilmu pengetahuan muncul istilah kebebasan mimbar akademik, yaitu proses pengembangan
ilmu lewat kegiatan perkuliahan (mimbar akademik). Kebebasan mimbar akademik
lebih ditekankan pada pengembangan kognitif (pemahaman), apresiasi (afektif),
dan keterampilan (psikomotorik)yang dilakukan dalam laboratorium dan
perpustakaan. Media untuk pengembangan mimbar akdemik lebih ditekankan pada
diskusi, seminar, dan simposium. Dalam kegiatan ini dosen dan mahasiswa akan
berada dalam suatu pola interese, yaitu berada pada satu tatanan bahasa yang
bersifat setara (VIS a VIS) namun dosen tetap pada posisi pemegang mimbar (ex
cathedra). Posisi pemegang mimbar utama adalah guru besar (professor). Ia
memiliki otoritas sebagai pengembang ilmu karena telah bergelar doctor.
Suria
Sumantri (1986 : 27) menyebut mahasiswa
sebagai setengah ilmuwan, yaitu mahasiswa belum memiliki kewibawaan penuh
pemegang otoritas dalam kegiatan ilmu. Fungsi mahasiswa menjadi cukup srtategis
dalam kegiatan keilmuan yang mengarah pada perkembangan peradaban manusia dan
teknologi. Pertama, pada proses pengembangan ilmu mahasiswa, mahasiswa
merupakan pelaku muda (colega minor)yang sedang belajar dan mengalami bimbingan
dari dosen (colega mayor). Mahasiswa akan mengalami pendewasaan diri sebagai
ilmuwan. Kedua, pada proses pengembangan ilmu, mahasiswa merupakan pelaku muda
yang pada umumnya sedang mengalami bimbingan dari para dosen. Dalam hal ini
mahasiswa sering kali memerlukan media tukar pendapat, dialog kritis untuk
saling memberi masukan.
3.
Otonomi Keilmuan
Ilmu
yang berkembang tidak hanya kerangaka pemikiran logis, melainkan telah teruji,
sehingga dengan ilmu orang akan bias menjelaskan gejala alam kemudian
meramalkannya. Ilmu mempunyai obyek kajian (ontologis), dan memiliki kemampuan
untuk mencapai kebenaran (epistemologi) serta kemampuan terkait dengan
masyarakatnya (aksiologis). Ilmu yang dapat berkembang pad prinsipnya karena
kaidah moral, pertimbangan etis, dan norma kerja profesinya.
Ilmu
pengetahuan memang dapat memperoleh otonomi dalam melakukan kegiatannya untuk
mempelajari alam semesta, tetapi masalah moral akan timbul manakala berkaitan
dengan ilmu pengetahuan itu. Ilmu pengetahuan memiliki 2 sisi kajian yaitu sisi
kajian internal dan eksternal. Sisi kajian internal digunakan manakala ilmu
hanya menggunakan metode spesifik yang dimilikiuntuk dipraktekkan ilmuwan
secara otonomi (Salim, 1994: 15). Sedang pada sisi kajian eksternal , ilmu akan
berkaitan dengan bidang IPOLEKSOSBUDROHANKAM (ideology, politik, ekonomi,
social, budaya, rohani, pertahanan, dan keamanan.
Ilmu
pengetahuan hanya memiliki otonomi dalam sisi kajian internal (terbatas pada
penerapan metodologinya untuk mencapai kebenaran ilmiah). Ilmu pengetahuan
selalu dituntut bagaimana dapat memiliki kegunaan di masyarakatnya. Misalnya
keberadaan ilmu kedokteran harus mampu mengatasi masalah kesehatan masyarakat
secara luas, seperti menciptakan obat untuk mengatasi HIV,dll. Ilmu sosial
(politik,sosial,ekonomi, budaya, dll) harus mampu menciptakan dinamika dan
intregitas bagi masyarakatnya. Dapat dikatakan bahwa ilmu sosial tidak mungkin
berkembang terlepas dari masyarakatnya, karena ilmu sosial adalah bagian dari
gejala perilaku masyarakat.
4.
Peran Mahasiswa di Masyarakat
Keterlibatan mahasiswa dalam
kegiatan masyarakat dapat dilakukan sejauh kegiatan itu memiliki relevansi
langsung dengan kematangan ilmu pengetahuan yang diminati. Keterlibatan
mahasiswa terhadap masalah sosial sebatas mahasiswa memiliki komitmen yang kuat
terhadap pengembangan tugas akademis. Sebagai contoh keterlibatan mahasiswa
dalam masalah politik, harus bersifat peningkat visi akademisnya, pengembangan
wawasan, pengayaan substansi dan kedewasaannya.
Peran mahasiswa di masyarakat:
1. Mahasiswa sebagai pribadi yang
sedang belajar berproses “untuk menjadi” (ilmuwan) sehingga masih membutuhkan
bimbingan dan pembinaan akdemik yang intensif dari para dosen.
2. Mahasiswa dapat berperan sebagai
perantara pembaharuan (agent of modernization) terutama membantu masyarakat
miskin yang masih tertinggal guna meningkatkan pendapatannya.
3. Mahasiswa perlu belajar untuk dapat
mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian, laporan hasil kajian ilmiah, dan
hasil diskusi ilmu pengetahuan kepada masyarakat dalam tataran bahasa indonesia
yang sederhana sehingga dapat diterima semua pihak.
4. Tidak semua orang dalam masyarakat
dapat meraih peluang masuk kuliah di bangku perguruan tinggi. Peluang masuk
perguruan tinggi hanyalah bagi lulusan SMA yang memiliki motivasi dan dukungan
dana yang cukup. Pengadaan dana yang cukup besar itu membutuhkan bantuan
masyarakat yang secara langsung digunakan untuk pengadaan prasarana dan sarana
belajar.
E. Memposisikan
Kebebasan Akademik dan Kebebasan Mimbar Akademik Secara Proporsional
Kesenjangan antara teori keagamaan dan
penalaran ilmiah makin membesar karena para filsuf yang tergabung dalam
kelompok penganut averroisme terus
bertahan pada pendiriannya untuk menggarap masalah-masalah filsafat dan ilmu
bebas dari ikatannya dengan keagamaan. Averroisme terus berkembang dan
memunculkan berbagai aliran filsafat serta cabang ilmu secara mandiri. Pesatnya
pertumbuhan sebagai cabang ilmu makin menampilkan ilmu sebagai suatu
manifestasi yang otonom dan hal ini menimbulkan tuntutan agar bagi pusat-pusat
keilmuan- universitas diakui juga otonomi universitas sebagai lembaga yang
menyelenggarakan kegiatan ilmiah. Maka muncullah istilah otonomi universitas,
yaitu otonomi kelembagaannya sebagai pengelola akademik ; dalam suasana itu
universitas merupakan tempat persemaian intelektual dan cultural dalam arti
luas, bukan sekedar perakit sarjana.
Otonomi
ilmu selanjutnya juga dianggap sebagai condition sine qua non bagi terwujudnya
perkembangan dan kemajuan ilmu khususnya serta peradaban pada umumnya sering
juga diakui sebagai otonomi universitas sebagai lembaga yang menyelenggarakan
pengajaran dan penelitian berbagai disiplin ilmu sesuai kaidah-kaidah akademik.
Sejalan
dengan hasrat diakuinya otonomi ilmu maka kalangan ilmuwan khususnya kalangan
akademis mengharapkan diakui dan berlakunya kebebasan akademik serta kebebasan
mimbar akademik. Yang pertama, berkenaan dengan kebebasan para akademis untuk
melakukan studi, penelitian, pembahasan serta pengajaran ilmu kepada dan antara
sivitas akademika. Yang kedua, berkenaan dengan hak serta tanggung jawab
seorang yang memiliki prasyarat dan atribut untuk diakui wewenang dan wibawa
keilmuannya guna mengutaran fikiran dan pendapatnya ex catedra academica. Hak
menggunakan cathedra (mimbar ) tidak dimiliki setiap sivitas akademika,
melainkan oleh para akademisi yang memenuhi segala persyaratan untuk bertindak
selaku tenaga pengajar atau peneliti yang mandiri.
Di Indonesia tradisi kebebasan (mimbar)
akdemik mula-mula diberlakukan di perguruan-perguruan tinggi yang pertama-tama
didirikan yaitu Sekolah Tinggi Teknik